Artikel
Oleh : Sata Rifqi
Apa itu anak jalanan ?
Anak jalanan adalah sebuah istilah yang mengacu pada anak anak tunawisma yang tinggal di wilayah jalanan. Lebih mendetail menurut anak jalanan yaitu berusia sekitar di bawah 18 tahun dan bertempat tinggal di wilayah kosong yang tidak memadai, serta biasanya tidak ada pengawasan. Beberapa anak jalanan, khususnya di negara berkembang, merupakan anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Selain itu, beberapa anak jalanan juga berasal dari keluarga dengan orang tua tunggal.
Apa itu NAPZA ?
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah bahan/ zat/ obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA. Sedangkan penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial. Sebuah penelitian di Semarang menunjukkan bahwa 62 dari 102 anak jalanan di Se-marang (61,76%) menyalahgunakan NAPZA
Banyaknya anak jalanan
Berdasarkan data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah anak jalanan di dunia tahun 2005 mencapai 150 juta. Hal ini berarti hampir 1 dari 60 orang yang hidup di dunia ini adalah seorang anak jalanan, dan dari Kementerian Sosial Republik Indonesia melaporkan jumlah anak jalanan di Indonesia tahun 2012 mencapai 230.000 anak. Sebagian besar profesi yang dijalani anak jalanan adalah pengamen (60,78%) dan sebesar 39,21% sebagai peminta-minta, tukang parkir, penjual koran, pemulung, dan lain-lain
Bahaya lingkungan jalanan untuk anak-anak
Jalanan bukanlah tempat yang baik bagi anak-anak, baik untuk tempat tinggal maupun untuk tempat bekerja. Kerasnya persaingan dan kehidupan diantara penghuni jalanan mendorong anak jalanan menjadi lebih rentan untuk berbuat hal-hal negatif, seperti mencuri, mencopet, terlibat perdagangan seks, dan menyalahgunakan NAPZA. Salah satu perilaku negatif yang banyak dilakukan anak jalanan adalah menyalahgunakan NAPZA.
Pada sebuah penelitian yang di lakukan di tahun 2009 menyebutkan bahwa latar belakang anak jalanan menyalahgunakan NAPZA adalah demi menjaga keakraban dengan teman, sebagai tempat pelarian atau memperoleh kekuatan ketika menghadapi masalah, dan sebagai upaya untuk menghilangkan rasa malu dan rasa lelah ketika di jalan.
Penyalahgunaan NAPZA pada anak jalanan menimbulkan dampak negatif, seperti semakin menurunnya tingkat sumber daya manusia yang berakibat pada menurunnya tingkat produktifitas kerja anak jalanan. Selain itu, penyalahgunaan NAPZA juga meningkatkan angka kriminalitas pada anak jalanan seperti meningkatnya angka pencurian, pencopetan, perkelahian, pergaula5n lain-lain. NAPZA mempunyai dampak negatif yang sangat luas, baik secara fisik, psikis, ekonomi, sosial, budaya, hankam, dan lain-lain
Fakta tentang anak jalanan
Berdasarkan hasil dari sebuah penelitian yang di lakukan di jawa tengah pada tahun 2014, menyatakan bahwa semua informan yang mengikuti wnwancara (100%) menyatakan bahwa mereka sudah lama menggunakan NAPZA, Mereka bahkan lupa sejak kapan tepatnya mulai menggunakan NAPZA. Namun, mayoritas informan menyatakan mulai menggunakan NAPZA setelah mereka bekerja di jalan.
Ada informan yang menggunakan NAPZA setiap hari pada pagi, siang dan malam (66,67%), seminggu 3 kali atau lebih (16,67%), dan menggunakan NAPZA bila mempunyai uang (16,67%) dan semua itu di awal dengan coba-coba.
Sebagian besar anak jalanan menyatakan bahwa mereka telah mencoba menggunakan berbagai jenis NAPZA, seperti pil dextro, pil BI (Buto Ijo), pil kasaran, lem, minuman keras, dan rokok. Namun NAPZA yang informan gunakan masih sebatas pil psikotropika golongan IV dan zat adiktif lain. Banyaknya jenis NAPZA yang anak jalanan konsumsi dikarenakan mereka penasaran ingin mengetahui rasa dan efek dari masing-masing jenis NAPZA
Kenapa anak jalan bisa memperoleh NAPZA?
Perbedaan jenis NAPZA yang digunakan informan juga selaras dengan tempat anak jalanan mendapatkan NAPZA. Pil dextro dan pil kasaran diperoleh dari apotek. Pil BI diperoleh melalui pengedar NAPZA. Lem diperoleh di toko besi, toko bangunan, dan minimarket. Sedangkan minuman keras dan rokok diperoleh di warung. Untuk pil dextro memang dijual bebas di apotek, namun untuk pil kasaran/ pil trihek/ THP tergolong dalam daftar G atau obat keras yang membelinya harus dengan resep dokter, tidak diperjualbelikan dengan bebas.
Untuk membeli THP, informan biasanya memalsukan resep obat THP untuk orang gila. Hal ini diperkuat dengan pernyataan salah satu pengurus RPSA yang menyatakan untuk mendapatkan THP anak jalanan biasanya mencari resep obat THP dari keluarga orang gila dan menebusnya di apotek dengan mengaku sebagai keluarganya. Selain itu ada pula anak jala-nan yang memalsukan resep THP agar bisa menebus obat tersebut di apoteumumnya membeli jenis
Umumnya anak jalanan memebeli NAPZA yang tergolong murah, yaitu kisaran harga Rp 5.000-20.000. Harga pil dextro Rp 5.000 berisi 17 butir. Harga pil BI Rp 20.000 berisi 1 butir. Harga lem Rp 5.000-12.000 per kaleng. Harga rokok Rp 10.000-15.000. Harga minuman keras Rp 10.000 per botol. Harga pil kasaran Rp 15.000-17.000 berisi 10 butir.
Hal ini sesuai dengan penelitian (Moeliono, 2003: 44) yang menyatakan bahwa selain bersifat multidrugs, pola penggunaan NAPZA di Indonesia juga berdasarkan kelas sosial. Jenis NAPZA yang relatif murah seperti lem, thinner, pil psikotropika, dan ganja banyak digunakan orang-orang dari kelas sosial ekonomi rendah. Kelas sosial ekonomi tinggi biasanya mampu membeli NAPZA yang lebih mahal seperti ekstasi.
Keinginan untuk Berhenti
Ketika ditanya mengenai keinginan untuk berhenti menggunakan NAPZA, 4 informan (66,67%) menyatakan pernah berhenti menggunakan NAPZA selama beberapa waktu dikarenakan beberapa hal, seperti sakit, mendapatkan pekerjaan yang lebih layak, dan melihat temannya meninggal dunia akibat overdosis. Namun hal itu hanya bertahan beberapa waktu karena pada akhirnya informan kembali menggunakan NAPZA. Sedangkan 2 informan lainnya (33,33%) menyatakan ingin berhenti menggunakan NAPZA namun tidak bisa dikarenakan godaan dari lingkungan pergaulan sesama anak jalanan.
Keinginan untuk sembuh harus bersumber dari dalam diri pecandu sendiri. Namun pada kenyataannya, lepas dari NAPZA merupakan hal sulit karena NAPZA dipandang sebagai jalan keluar untuk menyelesaikan masalah. Keluarga harus lebih peduli, saling memberikan dorongan antara anak dan orang tua sehingga seorang pecandu merasa diperhatikan dan dikasihi.
Selain itu, lingkungan sekitar, masyarakat, dan pemerintah juga harus bersama-sama menerima bahwa seorang pecandu NAPZA pada dasarnya bukanlah pelaku kejahatan, melainkan korban. Menurut salah satu pengurus RPSA, anak jalanan pengguna NAPZA merupakan korban. Mereka korban dari perlakuan salah, baik dari orang tua, gurunya di sekolah, dan orang-orang di sekitarnya.**** (Penulis Mahasiswa STIFI Padang)
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »