OPINI ---- Oleh : IRTI ZAMIN, SS
|
Tahapan
Pilkada 2020, sudah dimulai, yang ditandai dengan
penandatanganan Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) sejak Oktober 2019. Yakni penyerahan biaya
penyelenggaran pilkada baik ke Komisi Pemilihan Umu (KPU) maupun Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) provinsi dan kabupaten/kota dari pemerintah daerah.
Tentunya,
tidak sedikit biaya yang dibutuhkan untuk terselenggaranya Pilkada tersebut. Untuk
tahun 2019 saja membutuhkan biaya yang besar. Mulai dari perencanaan anggaran,
sosialisasi dan pembentukan jajaran penyelenggara tingkat kecamatan dan
seterusnya.
Khusus
Bawaslu terutama di tingkat kabupaten dan kota, diawali dengan rekrutmen pengawas
pilkada tingkat kecamatan dan secara berjenjang hingga pengawas lapangan dan
pengawas TPS. Lalu kemudian melakukan tugas pengawasan terhadap tahapan pilkada,
serta melaksanakan kewajiban dan wewenangnya.
Termasuk
di dalamnya bertugas untuk memutus pelanggaran administrasi dan penyelesaian sengketa proses pilkada.
Bahkan jajaran Bawaslu juga memiliki tugas dalam mengawasi netralitas aparatur sipil
negara (ASN) dan netralitas anggota TNI serta Polri. Hal ini juga diatur
dalam UU Pilkada No 10 Tahun 2016 dan UU No 7 tahun 2017.
Terkait
modus pelanggaran pilkada yang semakin komplek, baik yang dilakukan oleh
pasangan calon (paslon), tim relawan /tim pendukung maupun oleh partai politik pendukung. Membuat
jajaran bawaslu sampai tingkat kecamatan sekalipun harus betul-betul kerja
optimal, tidak hanya sekedar menghabiskan anggaran.
Apalagi
dalam sejarah lahirnya Bawaslu, pemerintah telah berupaya membuat regulasi untuk
memperkuat fungsi dan peran pengawasan. Berawal dari pemilu 1982, dengan nama
Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu (Panwaslak Pemilu). Kemudian, pada era
reformasi, dibentuk sebuah lembaga
penyelenggara Pemilu yang bersifat independen menjadi Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Seterusnya,
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003, pengawasan Pemilu dibentuk sebuah
lembaga adhoc terlepas dari struktur KPU dan diperkuat lagi melalui Undang-Undang Nomor
22 Tahun 2007 dibentuknya sebuah lembaga tetap yang dinamakan Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu). Dan secara kelembagaan pengawas Pemilu dikuatkan kembali
dengan Undang Nomor 15 Tahun 2011 dan UU
no 7 Tahun 2017. Bahkan, rekrutmen pengawas Pemilu sepenuhnya menjadi kewenangan
dari Bawaslu.
Sehubungan
dengan itu, untuk mewujudkan pengawasn pilkada yang optimal, sangat tergantung
pada kompetensi jajaran Bawaslu. Mencakup kemampuan kerja setiap individu baik aspek
pengetahuan, ketrampilan dan sikap kerja yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Oleh
karena itu, mesti dilakukan proses rekrutmen anggota pengawas pemilu mulai dari
tingkat kecamatan yang benar dan lebih ketat, transparan, profesiaonal dan
akuntabel. Meskipun tahun 2019 ini test tertulis dilakukan secara online dengan
test socrative, namun hasilnya harus diumumkan secara transparan, dan
dilanjutkan dengan test wawancara, yang dilakukan oleh bawaslu kabupaten dan
kota, yang terukur dan terarah dalam menggali potensi dan kompetensi peserta
test.
Apalagi,
Bawaslu memberi kesempatan test wawancara kepada semua peserta test tertulis,
baik yang memperoleh nilai tinggi maupun nilai rendah. Namun hendaknya jangan terkesan
dimainkan untuk memilih berdasarkan suka atau tidak suka, atau karena faktor
kekeluargaan dan kedekatan. Tapi hendaknya tetap mengedepankan kompetensi
sesuai hasil test tertulis dan wawancara.
Sehingga
diharapkan akan dapat direkrut personil pengawas pilkada
yang independen dan berintegritas. Yakni yang bebas dari pengaruh, dan tidak
dikendalikan oleh orang lain, berjiwa mandiri, tidak memihak dan tidak membawa
kepentingan pihak lain / lembaga lain.
Selain
itu, dipandang penting meningkatkan peran Sentra Penegakan Hukum Terpadu
(Sentra Gakumdu). Sehingga penegakan tindak pidana pilkada dapat dilakukan
secara cepat, terpadu, dan effektif.
Seterusnya
diperlukan partisipati masyarakat yang lebih baik dan lembaga terkait lainnya.
Begitupun peran pers dan media massa perlu dibangun kerjasama yang sinergis dalam
proses pengawasan pilkada.
Dengan
demikian diharapkan, akan terwujud proses pilkada yang sejalan dengan amanat
undang-undang dan berkeadilan. Sebab akan terselenggara pilkada yang lebih berkuaitas,
dan relatif dapat diterima semua pihak. Tidak hanya sekedar menghabiskan
anggaran yang terkesan sia-sia. *****
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »